Bosan Miskin, Bergeraklah!

Miskin sebagaimana pernah penulis kemukakan sebelumnya (Lombok Post, Jumat 26 Januari 2018) berasal dari bahasa Arab “sakana” yang berarti “diam, tetap, konstant”; kata lain yang merupakan derivasi dari kata yang sama adalah “sakinah” yang dapat diartikan “betah, netap-tetap, diam”. Artinya adalah bahwa semua kata dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf ‘sa-ka-nun’ berkonotasi makna: kondisi dan situasi yang minim imaji-kreatif untuk melakukan praksis perubahan. Karenanya, kemiskinan itu menjadi tak terelakkan apabila orang miskin lebih banyak ‘miskin’ (baca: berdiam diri) yang pada akhirnya membuatnya tak berdaya secara ekonomi dengan (masih) beralibi: TAKDIR TUHAN. Karena laten demikian: nir imaji kreatif dan menerima kondisi papa sebagai destiny, menjadikan kerja-kerja sosial penanganan kemiskinan tidak ringan, dus menantang karena harus menginjeksi file-file kesadaran baru, menjadi manusia baru, sembari menantang kemiskinan sebagai musuh yang harus dilucuti. Tulisan berikut ini adalah cerita mereka yang bergulat melawan (bibit) kemiskinan yang dapat merangkum banyak perwujudan: tidak kreatif, malas, gengsi, rendah diri.
*****
Sejenak saya terkejut. Di aplikasi transportasi on line yang saya pesan tertulis nama dengan inisial Frnsc, sebut saja begitu. Perempuan ini saya taksir usianya sekitar 50-an tahun. Kulitnya putih bersih. Matanya sipit. Ia dengan lincah melewati beberapa kendaraan di depannya: mengantarkan saya ke bandara. Sepanjang perjalanan ia bercerita: anaknya dua orang perempuan. Satunya sudah menyelesaikan kuliah di Australia dan seorangnya lagi sedang menempuh studi di salah satu pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Surabaya. Dulunya, ia adalah pemilik showroom mobil: bisnis keluarga yang ditekuni lama. Pantas saja mobilnya fresh, keluaran terbaru salah satu merk mobil buatan Negeri Ginseng.
Dengan bangga ia bercerita bahwa dia adalah driver perempuan kedua dan satu-satunya perempuan bermata sipit yang menekuni profesi berbasis aplikasi android ini di Lombok. Ia sempat diingatkan oleh anak-anaknya untuk menikmati hari tuanya, toh bebannya tidak terlalu berat karena anak-anaknya sudah mandiri. Sebagian besar keluarga dan komunitasnya pun meragukan bahwa ia serius menekuni profesi tersebut. Apalagi menanggalkan identitasnya sebagai pemilih showroom mobil beralih sebagai driver. Tapi ia cukup punya alasan kuat: penghasilannya lumayan besar dibandingkan income dari showroom yang pasarnya semakin sumpek. Sementara pajaknya mesti dibayarkan setiap tahun dan dalam sebulan belum tentu ada mobilnya yang terjual.
Tidak kurang dari 15 juta sebulan ia peroleh.
Jumlah yang besar dengan jam kerja yang dapat ia tentukan sendiri. Tak jarang, ia mendapatkan klien (pembeli) mobil dari orang yang memakai jasanya; beberapa orang driver berbasis aplikasi pun membeli mobil darinya. Sesampainya di bandara, ia menutup dengan tawaran, “Bapak… Kalau pengen beli mobil, bisa sama saya. Nomor saya di-save yah, Pak. Atau Bapak mungkin mau mengisi paket Bapak (biasanya dikenal dengan istilah top up)? Terima kasih Bapak sudah menggunakan jasa kami. Semoga selamat sampai tujuan…”
Saya terkagum-kagum dengan ceritanya. “Pak… Apapun jenis pekerjaannya. Ujung-ujungnya duit juga yang kita cari. Tidak ada alasan untuk gengsi dan malu. Lagipula, ini pekerjaan yang sederhana: saya hanya menemani orang ke tempat tujuannya”.
******
Saban sore dengan motor bututnya, ia menyambangi perumahan demi perumahan menjajakan jamu godoknya. Pria dari pulau seberang. Kulitnya coklat nyaris hitam ditimpa debu jalanan. Tapi deru dan debu kehidupan tak mengalahkan semangatnya untuk bertahan. Sebut saja namanya Mas Joko. Seperti biasa, sore itu ia menjajakan jamunya. Entah angin apa, kali ini saya ingin merasakan sensasi jamu buatannya. Dengan setengah memaksa, saya mengajaknya istirahat karena cuaca sore itu sedikit gerimis. “Kini saatnya Mas menikmati kopi buatan saya,” demikian saya membuka pembicaraan sore itu. Tak terasa sudah lebih dari satu jam Si Mas Jamu bercerita: istrinya juga adalah Mbok jamu keliling, sama seperti dirinya, seputar Jalan Lingkar. Tak kurang dari 300-400 ribu sehari yang mereka berdua dapatkan: hanya 5 jam sehari (shift pagi dan sore).
Dapat dibayangkan berapa penghasilannya sebulan? Kelelahannya selama dua tahun meninggalkan pula seberang terbayar; kini mereka sudah memiliki rumah di salah satu perumahan dan 3 buah motor. Menurutnya, di kota asalnya hidup menjadi terasa sulit. Dunianya nampak suntuk, berat, dan buram. Ada perasaan gengsi dan malu untuk sekedar melangkah: do something untuk merubah hidupnya. Padahal keluarga kecil yang baru dibangunnya butuh penghidupan: makan, minum, dan tempat tinggal. Tak mungkin selamanya bergantung kepada orangtua dan keluarganya. Sampai kapan mereka akan dapat membantu, sementara mereka juga mempunyai keluarga pula? Kesadarannya terantuk. Ia tak ingin sepanjang hayatnya hidup dalam kepapan. Tak hendak juga mewarisi kelemahan ini untuk anak-anaknya. Seminggu-dua minggu ia berbagi cerita dengan keluarganya dan pintu pertama yang mesti dilangkahi adalah move on dengan meninggalkan kampung halamannya: hijrah ke Pulau Negeri Seribu Masjid, Lombok. Hidup tanpa keluarga di negeri orang menuntunnya untuk menanggalkan perwatakan lamanya: malu dan gengsi. Apapun pekerjaan ia lakoni untuk sekedar bertahan dan menafkahi keluarganya.
Menjual jamu keliling adalah pilihan terakhirnya: ramuan khas yang menjadi identitas kulturalnya.
Dengan sedikit keuntungan yang disisihkannya setiap hari, ia berencana untuk memulai peruntungan baru: jual nasi goreng dan bakso. Rupanya ia pelan-pelan bermetamorfosa menjadi seorang entrepreneurship, membuka lahan kerja bagi yang lain. “Kalau dihitung-hitung barangkali tak seberapa, Pak. Tapi kali banyak…? Dari jamu saja saya bisa mendapatkan 6 juta sebulan. Belum lagi dari nasi goreng dan bakso? Tidak butuh teori yang angel (sulit), cukup fokus, konsisten, serta kualitas produk (jamu) yang enak. Barangkali nampak kecil apa yang saya lakoni, tapi penghasilan saya ngga kalah dengan PNS. Atau bahkan lebih,” ujarnya terbahak-bahak bangga.
******
Hari itu… Hujan rasanya enggan berhenti sampai jelang malam, masih jua. Padahal saya punya utang sama si kecil akan mengajaknya makan di salah satu kedai yang menu utamanya adalah bebek hijau kesukaannya selepas saya balik dari dinas luar kota. “Ibu kan sudah masak ayam. Enak loh… Ayo coba dulu deh… Ini kan hujan, Dek…” Nyonya besar berusaha untuk sedikit bernegosiasi. Gagal… “Pokoknya bebek. Titik. Ayah uda janji kemarin. Kan bisa pake aplikasi belinya…” ujarnya setengah berteriak. Ndredes rasanya ketika si bungsu menyebutkan layanan yang disediakan oleh salah satu aplikasi.
Saya pun segera memesan pesanan si ade. Tertulis di sana Mhrz, nama samaran. Parasnya putih bersih. Gagah seperti waktu saya masih muda. Sepintas mirip aktor zaman saya: Ryan Hidayat. Setengah jam kemudian pesanan sudah diantarkan ke rumah. “Saya sebenarnya tidak tega memesan hujan-hujan begini karena khawatir terjadi apa-apa,” sapaku membuka pembicaraan. Tapi bagi dia justru hujan adalah berkah untuk mengejar bonus yang dijanjikan oleh layanan on line tersebut karena para pemakai jasa on line akan jauh lebih ramai dibandingkan cuaca normal. Sebentar ia bercerita bahwa ia baru saja mengantarkan tamu secara off line ke bangsal menuju Gili Trawangan. Rupanya sang driver adalah mahasiswa semester awal di salah satu perguruan tinggi negeri Islam di Mataram. Tak banyak informasi yang dapat saya gali, namun sempat bercerita bahwa ia mengisi waktu-waktu luangnya nyambi sebagai driver on line. Pun penghasilannya lumayan. Tak kurang dari 150-200 yang ia peroleh setiap hari: tanpa mengganggu aktivitasnya sebagai mahasiswa.
Dengan pendapatan sebesar itulah sang mahasiswa ini membiayai kuliahnya, bahkan menyisihkan untuk kebutuhan dasar keluarganya dan membiaya sekolah adik-adiknya. “Ketimbang saya nganggur di kos. Main sana sini ngga jelas. Mutar-mutar yang ngga perlu. Lebih baik saya habisin bensin saya untuk cari uang. Kerjaannya simpel: saya hanya meng-on-kan dan aplikasi yang akan ‘bekerja’.
*****
Frnsc dan Mhrzn adalah contoh pemanfaatan teknologi, tepatnya handphone, cerdas guna. Di luar itu ada banyak profesi yang dapat dilakukan hanya dengan memanfaatkan mobile ini. Tunjuk misalnya menjadi reseller, jual beli makanan, minuman, pakaian, obat; umumnya apa saja yang dapat diuangkan.
Anak-anak kekinian harusnya kreatif memanfaatkan lompatan gelombang tehnologi ini secara baik. Dunia digital tidak hanya dipergunakan untuk memperbanyak pertemanan, namun juga dimanfaatkan sebagai alat untuk memperbanyak relasi yang bernilai ekonomis. Facebook, instagram, twitter, dan aplikasi media sosial lainnya harus diakui telah banyak melahirkan jutawan, bahkan milianer pada usia muda. Pun definisi usaha, bisnis, bahkan perusahaan telah mengalami perluasan makna tanpa perlu ‘adanya’ bangunan fisik. Handphone yang kita genggam setiap saat, juga adalah perusahaan itu sendiri karena lalu lintas transaksi dapat dilakukan hanya dengan satu klik, kapan dan di mana saja; “Cek email, Gan”; “Liat WA-nya”; “Aku inbox bro” dan masih banyak sapaan karib lainnya untuk memperlihatkan transaksi itu terjadi.
Oleh karena itu, dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi, harusnya membaca revolusi ini dengan mem-back up para mahasiswa dengan kurikulum dan atau kecakapan yang berorientasi pada digital marketing dan atau digital entrepreneurship. Skill ini menjadi sangat urgen agar out put lembaga pendidikan tinggi tidak selalu berorientasi kerja kantoran dan cita-cita menjadi Pegawai Negeri Sipil, juga agar out pun-nya tidak gamang pasca mereka kuliah. Sudut imajinasi dan cita-citanya pun tak selebar handphone, untuk tidak mengatakan selebar daun kelor karena di dunia luar ada banyak pekerjaan kreatif-imajiner yang bisa digeluti oleh alumni perguruan tinggi dengam segala ide-ide cerdasnya yang didapatkan di bangku kuliah.
Laporan Tetra Pak Index tahum 2017 mencatat bahwa ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia di mana hampir setengahnya adalah penggila media sosial, atau berkisar di angka 40 persen; ada lebih dari 106 juta orang Indonesia menggunakan media sosial tiap bulannya: 85 persen di antaranya mengakses sosial media melalui perangkat seluler. Tetra Pak Index juga mengungkap bahwa tercatat ada lebih dari 106 juta orang Indonesia menggunakan media sosial tiap bulannya. Pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi millennial dan generasi Z; generasi yang lahir di era digital di mana smartphone dan belanja online sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Karena itulah, menurut hemat penulis anak-anak kekinian memiliki peluang untuk merubah nasib lebih terbuka tinimbang era zaman old, tapi bukan berarti mereka yang dilahirkan di zaman old tertinggal karena peluang marketnya open untuk siapapun.
Sementara itu, profil Mas Joko ingin menjelaskan bahwa sekiranya di daerah asli hidup terasa berat dan perubahan tak kunjung nampak ada yang berubah, makan merantau: keluar negeri dan atau keluar kota dapat menjadi pilihan alternatif. Kita barangkali perlu banyak belajar tradisi ‘keluar’ suku Minangkabau, Batak, Makasar, atau bahkan dari saudara kita sesama NTB, Dou Mbojo. Keempat suku ini menurut pembacaan saya adalah para perantau ulung yang sukses. Di Jakarta misalnya, kita mengenal Kampung Tambora yang didiami oleh mayoritas Dou Mbojo; juga istilah Babikuning (Batak-Bima-Kuningan) dalam struktur birokrasi Jakarta. Artinya adalah untuk belajar kejuangan merantau kita cukup mengamati etos kerja saudara kita sendiri: Dou Mbojo. Selain itu, makna merantau dalam pengertian menjadi ‘pekerja migran’ juga bukanlah pilihan yang keliru dengan catatan income yang diperoleh dikelola secara cerdas sebagai modal usaha, investasi, dan biaya pendidikan serta tidak hanya dihabiskan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif semata. Saya cukup mengenal beberapa ‘alumni’ pekerja migran yang sekarang sedang menempuh pendidikan tinggi level sarjana, magister, bahkan menjadi dosen di luar negeri, yang pure ‘merantau’ hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi demi membiayai pendidikan.
Pada akhirnya, penulis ingin menyampaikan bahwa, “BOSAN MISKIN? BERGERAKLAH…!!! Keluarlah dari zona aman, singkirkan rasa malas, malu, dan gengsi itu; bangkitlah membangun relasi dengan berkomitmen pada diri masing-masing bahwa kita harus benci dengan kemiskinan; ketidaksukaan yang ditimpali dengan kerja-kerja kreatif dan cerdas karena kerja keras tak cukup. Pun modal ini boleh jadi belumlah cukup karenanya ‘kecerdasan bertahan’ (adversity quotient): kemampuan dalam menghadapi kesulitan atau hambatan, kemampuan untuk bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami karena orang hebat (sukses) telah dibesarkan oleh kegagalan berkali-kali. Miskin jelas bukan takdir (Tuhan), melainkan konsekuensi dari mental miskin. Bosan miskin? Fataharrak… Bergeraklah….!!!
Terima kasih atas informasinya