Dompu–Kearifan lokal tidak boleh dilupakan. Untuk mengingatkan hal tersebut, Dinas Sosial Provinsi NTB mengadakan kegiatan yang membahas kearifan lokal di Dompu.
Hadir Dr. H. M. Natsir, SH, M. Hum Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unram sebagai narasumber dari akademisi. Hadir juga Ketua Forum Kesatuan Ummat Beragama Kabupaten Dompu dari tokoh masyatakat dan agama. Narasumber ini membahas pengkajian terhadap kearifan lokal dan sebab-sebab terjadinya konflik sosial beberapa waktu terakhir di Dompu. Termasuk upaya memperkecil ruang terjadinya konflik dengan menanamkan penghayatan dan pengamalan kearifan lokal.

Kepala Dinas Sosial Prov H Ahsanul Khalik mengatakan, peradaban Dou Dompu (masyarakat Dompu) atau ciri khas Dou Dompu yang sebenarnya, baik dari segi kata, prilaku, dan maupun dari pekerjaan. Ciri khas Dou Dompu pada zaman dulu yang sampai sekarang kadang masih ada dan kadang sudah mulai dilupakan ditengah peradaban zaman sekarang ini. Beberapa ciri khas Dou Dompu dulu yaitu antara lain:
Kalembo Ade atau Lembo Ade. Kata Kalembo Ade merupakan kata dari turun termurun yang digunakan oleh orang-orang dompu pada masa zaman dulu dan sampai sekarang kata Kalembo Ade masih dibudayakan oleh masyarakat Dompu pada umumnya.
“Kata Kalembo Ade biasanya digunakan oleh orang-orang Dompu dulu dalam hal memberikan ketabahan dan kesabaran disetiap masalah yang dihadapi oleh orang yang mengalami masalah, agar teman, sahabat, keluarga maupun orang lain,” katanya.
Ada juga Nggusu Waru, kata Khalik, dimana saat pelantikan Sultan Pertama Kerajaan Dompo 24 September 1545, petinggi-petinggi kerajaan melahirkan konsep kriteria kepemimpinan Kerajaan Dompo yang memiliki Dou Ma Nggusu Waru didalam menjalankan pemerintahan kerajaan dulu. Nggusu waru merupakan sebagai syarat utama yang harus dimiliki oleh calon raja. Ciri khas Dompu yang satu ini merupakan suatu bentuk yang harus diketahui dan dimiliki oleh masyarakat Dompu.
“Supaya masyarakat tidak salah menilai dan memilih pemimpinnya yang akan membawa perubahan kearah yang lebih baik, yaitu pemimpin yang benar-benar Dou Ma Nggusu Waru dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ma Nggahi Rawi pahu,” bebernya.
Merujuk dalam Tulisan Guru Toi Akhdiansyah, S.Hi Nggusu Waru merupakan filosofi kepemimpinan Dou Dompu, sebagai perangkat nilai, pikir dan tindak. Maka Nggusu Waru menitipkan delapan prinsip nilai kepemimpinan Dou Dompu antara lain yaitu : (1). Dou Ma To’a diruma labo Rasul; artinya orang yang taat kepada Tuhannya dengan menjalankan pemerintah dan larangannya serta orang yang mau mengikuti sunnah Rasulnya. (2). Dou Ma Loa Ra Bade; artinya cerdas dan bijak (3). Dou Mambani Ro Disa; gagah berani (4). Ma Bisa Ra Guna; Mbawa dan Kharismatik (5). Ma Tenggo Ra Wale; Kuat dan gigih. (6). Mantiri Nggahi Ra Kalampa/Mandinga Nggahi Rawi Pahu; Jujur sesuai tutur kata dan perbuatannya (7). Mantiri fiko Ra Paresa ; Adil dan seksama. (8). Londo Dou Ma Taho; Keturunan orang yang baik.
Selain itu, sambungnya, ada Nggahi Rawi Pagu merupakan kata ciri khas Dou(orang) Dompu yang sudah dijadikan sebagai Motto Daerah Dompu sejak terbentuknya Kesultanan pertama 1545 dan sampai peresmian Daerah Dompu dengan mengangkat dan menjadikan Bupati pertama pada tanggal 12 Sepetember 1947 yang silam, mulai saat itu pula kata Nggahi Rahi Pahu dijadikan sebagai motto Daerah. Nggahi Rahi Pahu merupakan falsafa daerah yang diciptakan oleh orang-orang Dompu dulu, yang sampai sekarang kata Nggahi Rawi Pahu dibumikan oleh Masyarakat dan pemerintah Kabupaten Dompu sebagai ciri khas daerah.
” Kata ini memiliki makna yang sangat dalam bila kita mengkajinya,” terang Khalik.
Arti yang sebenarnya dari kata Nggahi Rawi pahu adalah pertama, (Ngghi). Nggahi yang artinya bilang/mengatakan sesuatu apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat yang keluar dari mulut seseorang. Kedua, Rawi; kata Rawi yang artinya “perbuatan/sikap” seseorang yang hasil dari apa yang mereka katakana terus yang dapat diaplikasikan langsung melalui sikap atau perbuatan seseorang. Dan yang ketiga, Pahu; kata pahu yang maknanya “bentuk/wujud” atau bukti nyata dari apa yang dikatakan dan langsung dilakukan dengan perbuatan.

Kemudian, ada juga Santabe, yang artinya “permisi”. Setiap orang yang mau lewat dihadapan orang-orang duduk dan ngumpul maka kata Santabe yang harus kita sapa sebagai bentuk tradisi budaya yang saling menghargai orang lain. Dengan kata (bahasa) Dompu yang lain yaitu “Roi Ra Ka Co’i Angi” merupakan budaya yang diterapkan oleh orang-orang zaman dulu, yang artinya saling menghargai antara satu sama lainya melalu sikap, sapa, tutur kata, dan menghargai dari bebagai bentuk perbedaan. Dari kata Ra ka Co’i Angi sudah tak asing lagi ditelinga masyarakat Dompu, dan kalau kita melihat diera kekinian, Roi Ka Co’i Angi sudah mulai hilang, karena memang Budaya asli Dou Dompu pelan-pelan sudah mulai terkikis dengan adanya pengaruh budaya-budaya orang luar, sehingga apa yang menjadi ciri khas Dou Dompu dengan budaya saling Roi ra Ka Co’i Angi sudah tak terlihat lagi yang diterapkan oleh orang-orang Dompu sekarang ini.
“Terutama remaja dan pemuda yang notabenya sebagai generasi penerus dan pelurus yang mewarisi dan mentranformasikan tradisi budaya daerah,” imbuhnya.
Ini salah satu budaya ciri khas Dou Dompu yang patut dibudayakan sebagai masyarakat yang tau akan sejarah budaya dou Dompu. Dari penilaian orang luar daerah Dompu yang mencari nafkah dan sudah menetap tinggal di Dompu, bahwa orang-orang Dompu cukup prulalis, egaliter terhadap orang-orang luar daerah yang masuk dan tinggal di Dompu.
“Orang Dompu yang menghargai dan mengedepankan sikap tolong menolong antara sesama,” kata Khalik lagi.
Semua kearifan lokal ini menurut Khalik harus mulai digali dan diterapkan oleh masyarakat Dompu. Bila perlu Dinas Sosial Kabupaten Dompu mengusulkan kepada Bupati Dompu agar ditetapkan sebagai muatan lokal dalam pelajaran di sekolah-sekolah yang ada di Dompu.(*)