Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak di NTB (3-Habis)

H Ahsanul Khalik

(Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB)

Harus diakui pemerintah tidak pernah berdiam diri menyaksikan runtuhnya kualitas manusia Indonesia lewat pernikahan yang belum cukup umur. Telah banyak upaya yang diretas oleh pemerintah. Tunjuk misalnya sejak tahun 2009 dengan meluncurkan Pogram Generasi Berencana (GenRe) melalui BKKN yang programnya antara lain: GenRe goes to school atau GenRe goes to campus, pemilihan Duta Mahasiswa GenRe. Program GenRe menempatkan teman sebaya sebagai rule model yang aktif mengkampanyekan penundaan usia perkawinan.

Pemerintah sudah bekerja, ulama sudah berperan, lantas siapa lagi? KITA. Kita semua sebagai warga masyarakat yang terkadang sebagai sumber masalah, subjek, juga sekaligus korban pernikahan usia anak. Pemerintah tentunya tidak dibiarkan kerja sendirian. Tangan kecil pemerintah yang terbatas tak mungkin menjangkau ‘kepala dan pikiran’ seluruh lapisan masyarakat. Majelis taklim dan pengajian yang diisi oleh para ulama tidak menyentuh semua telinga dan hati. Karenanya, masyarakat harus didorong dan atau warga harus inisiatif untuk merumuskan norma-norma sosial sesuai dengan kearifan lokal setempat, untuk melawan pernikahan usia anak atau merariq kodek.

Di Lombok misalnya terdapat istilah awiq-awiq, di kalangan suku Mbojo (Bima-Dompu) dikenal dengan istilah maja ro dahu, yang dapat dituangkan dalam bentuk peraturan yang mengatur: jam midang, usia pernikahan, dan sanksi bagi pelaku. Bagi kita, bangsa Indonesia, yang masih memposisikan hukum adat sebagai nilai hukum akan sangat ampuh apabila benar-benar diterapkan.

Pemerintah, tokoh agama dan reformulasi teks agama, kesadaran akan nilai lokal sudah dibangun, tapi pondasi utamanya rapuh, yaitu keluarga dan lingkungan, tidak diperhatikan, mungkin pernikahan usia anak ini akan semakin pelik dan akut. Oleh karena itu, pemahaman keluarga bahwa pernikahan pada usia anak bukanlah praktik pernikahan yang ideal harus harus menjadi pemahaman dalam sebuah keluarga, juga harus mengontrol perilaku anak yang sedang ‘naik daun’. Intinya adalah harus ada upaya yang luar biasa yang harus dilakukan oleh para orangtua untuk menyikapi dan melokalisir darurat pernikahan usia anak.

Lembaga pendidikan pun tak boleh abai dengan fenomena pernikahan usia anak. Selain melakukan hal-hal rutin seperti memberikan imtaq, shalat dhuha, shalat wajib berjama’ah, razia handphone seperti mengecek konten yang dibuka, mengecek konten isi handphone karena tak jarang ditemukan film dewasa di handphone para siswa.Selain itu, pihak sekolah juga perlu melakukan edukasi penggunaan media sosial yang sehat melalui guru bimbingan dan konseling yang rutin masuk ke kelas dan juga disisipkan di mata pelajaran. Pihak sekolah juga tak jarang mengundang BKKBN, Dinas Sosial, dinas terkait serta lembaga lainnya yang concern terhadap pernikahan usia anak.

Yang harus diingat bahwa orangtua dan sekolah tidak mungkin mengawasi anak selama 24 jam. Ada faktor lingkungan pergaulan yang memfasilitasi pernikahan usia anak. Masyarakat yang permisif yang berkolaborasi dengan malpraktek teknologi serta media sosial yang memicu terjadinya pernikahan usia anak. Peran orangtua untuk terus mendampingi akses terhadap internet adalah keharusan; edukasi pengunaan media sosial yang sehat yang dilakukan oleh sekolah-sekolah adalah cara yang tepat.

Kebijakan pemerintah yang memblokir situs-situs pornografi adalah harus didukung penuh karena film-film tak senonoh itu yang kemudian dikonsumsi anak-anak berusia labil, menjadi pemicu terjalinnya hubungan terlarang, seks bebas, seks pra nikah yang pada akhirnya pilihan menjadi pengantin anak tidak dapat dihindari demi kejelasan status anak yang dilahirkan. Tidak hanya berhenti sampai di situ, pemerintah bersama instansi terkait seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus hand to hand memberantas mafia penjualan video-video porno, serta tak kalah pentingnya pihak kepolisian melalui cyber crime-nya untuk memberangus group-group cetingan seks dan porno di media sosial.

Fenomena pernikahan usia anak yang ditopang oleh akses terhadap media yang tanpa filter telah menjadi ruang intimasi yang menjebak anak-anak usia labil, matang sebelum waktunya dengan menjadi ‘orangtua’ bagi anak-anak mereka. Kita tentunya tidak menginginkan anak-anak kita matang dan membusuk sebelum waktunya. Oleh karena itu, ruang-ruang yang tempat bernapasnya pengantin anak harus dipersulit ruang bergerak dan dibikin sesak napasnya seperti kos-kosan yang cenderung bebas, tanpa peraturan, dan ini tentunya fasilitas yang luks serta terbuka bagi anak yang salah gaul ‘beradu kelamin’. Oleh karenanya, pemerintah daerah sebaiknya menyusun peraturan daerah tentang kos-kosan agar lingkungan kos-kosan sehat dan bermoral.

Kita bisa mengambil contoh praktek di daerah lain, Yogjakarta misalnya, yang memiliki Perda Kos-kosan Nomor 4 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pondokan.Pun Perda ini sudah dinilai kadaluarsa sehingga DPRD Kota Yogyakarta melakukan revisi Perda dengan mengesahkan Perda baru tentang Penyelenggaraan Pondokan, yang mewajibkan pemilik pondokan berperan menjadi induk semang atau menunjuk seseorang menjadi induk semang. Selain mewajibkan induk semang berperan mengawasi penghuni kos, semua pengelola kos juga wajib menyediakan ruang tamu. Bila pengelola kos tidak menjalankan aturan yang baru, maka pengelola kos harus bersiap dikenai sanksi. Mereka harus siap dikenai denda, teguran lisan, dan tertulis hingga penutupan rumah kos. Jumlah denda berkisar Rp. 4,5 hingga Rp. 6 juta.

Perda ini bertujuan untuk menekan kriminalitas dan kasus asusila. Juga mahasiswa fokus pada tujuan utamanya: menuntut ilmu, dan bukan malah tempatnya ‘Dini dan Dono’ bermesum ria yang menghasilkan ‘Ani atau Dani’. Pemerintah daerah lain bisa belajar dari Yogjakarta, karena selain diharapkan dapat meminimalisir praktik asusila, tapi juga punya nilai tambahan pajak restribusi bagi pemerintah daerah.

Dalam konteks Lombok, pernikahan usia anak terjadi karena mekanisme budaya merariq (lari bersama) yang longgar dalam masyarakat Sasak. Sistem merariq terjadi ketika seorang perempuan pergi ke rumah bersama laki-laki di malam hari, maka hal itu merupakan pertanda bahwa mereka akan menikah. Pernikahan oleh karena merariq ini kurang mempedulikan usia subjek yang melakukan selarian, selain legitimasi adat yang telah dipraktikkan turun-temurun yang memberikan ruang pembenaran untuk dinikahkan. Oleh karena itu, harus ada upaya rekonstruksi pemahaman kawin lari yang melibatkan tokoh adat bahwapernikahan dengan modus merariqhanya boleh dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa dan memiliki kesiapan mental, spiritual, ekonomi, dan lainnya yang dalam bahasa agama sering menggunakan istilah al-ahliyah atas dasar suka sama suka. Edukasi tafsir merariq harus terus dikampanyekan agar masyarakat memiliki pemahaman yang sahih tentang merariq, dan tidak lagi melulu diperalat oleh mereka yang belum cukup untuk melakukan pernikahan. Oleh karena pembiaran praktik adat yang keliru ini berarti sengaja pula menciptakan kemiskinan dengan berlindung di balik payung adat.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah membekali anak dengan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (kespro). Baru sedikit sekali informasi dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang didapat oleh mereka yang belum menikah. BKKBN pernah membincangkan kemungkinan masuknya pendidikan seks ke dalam kurikulum sekolah. Namun, hal ini masih mendapat penolakan dari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan agamawan yang resisten terhadap pendidikan seks karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral.

Padahal, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Tertutupnya akses pendidikan terhadap kesehatan organ seksual dan hak reproduksi ini justru meningkatkan resiko anak untuk mendapatkan informasi di tempat yang salah. Keterbatasan informasi dan pengetahuan ini membuat baik pria maupun wanita memiliki perilaku seksual yang beresiko. Penolakan orang selama ini lebih karena kesalahpahamannya atas pendidikan seks yang dimaknai sebagai ‘tindakan seks’. Padahal pendidikan seks bicara tentang fungsi-fungi alat kelamin dan keharusan bagi anak untuk menjaga virginitasnya sampai pernikahan itu terjadi. Persoalan pernikahan anak ini semakin kelam, karena kita menyakralkan KELAMin ini sebagai sesuatu yang tabu.

Intinya, upaya edukasi baik kepada masyarakat selaku orangtua maupun kepada pelaku para remaja terkait dengan pencegahan pernikahan usia anak, tidak boleh ada kata lelah. Penguatan peran-serta Dewan Anak selaku organisasi (forum anak) harus terus mewadahi berbagai kegiatan-kegiatan positif bagi mereka. Goes to School juga harus ditingkatkan meningkatkan partisipasi anak. Masyarakat juga harus diedukasi dengan melakukan sosialisasi di beberapa wilayah tentang pendidikan bagi keluarga dan melindungi anak sebagai modal kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Edukasi ini bisa dilakukan melalui media cetak, media elektronik dan media sosial tentang bahaya pernikahan anak. Mendampingi keluarga korban apabila ada laporan tentang akan adanya pernikahan usia anak dan keluarga korban tidak menyetujui pernikahan tersebut, dan mengupayakan agar tidak terjadi pernikahan anak tersebut.

Dari apa yang disampaikan di atas adalah bahwa semua harus mengambil peran sesuai dengan kapasitas masing-masing. Kita tidak boleh lelah dan kalah melawan pernikahan usia anak. Sekiranya kita tidak dapat mewariskan harta yang banyak, setidaknya kita telah meninggalkan generasi yang kuat yang lahir dari proses waktu yang tepat. Sekali lagi, pernikahan pada usia anak bukan pilihan yang seharusnya. Rupa-rupa hantu jahat bernama penyakit berbahaya akan mengintai. Anak-anak yang terjebak dalam pernikahan anak akan rentan hidup dalam kemiskinan. Kekerasan rumah tangga juga tak pelak karena usia yang masih labil. Pendidikan pun terhenti. Kehamilan akan segera menyusul. Punya anak. Tak tertutup kemungkinan akan jadi janda muda pula. Mungkin juga akan mati muda. Sia-sia. Seperti buah di pohon. Terlalu muda dipetik, kurang enak. Terlalu matang, mudah jatuh dan membusuk. Pernikahan usia anak menimbulkan dampak buruk seperti kematian dan kemiskinan. Pernikahan usia anak juga akan mengakibatkan pergeseran nilai-nilai dan norma-norma mengenai perkawinan, seperti pernikahan usia anak dianggap sebagai sesuatu yang lazim dilakukan sehingga mutu dan kualitas keluarga tidak lagi menjadi prioritas di mata masyarakat; status janda atau duda sebagai dampak dari perceraian karena pernikahan usia anak relatif tidak lagi mempunyai stereotip negatif di mata masyarakat. Dalam konteks seperti ini, masa depan anak-anak yang orang tuanya bercerai karena menikah  di usia anak akan menjadi beban masyarakat dan sekaligus memunculkan generasi yang lemah, untuk tidak menyebutnya sebagai lost generation.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *