Melawan Darurat Praktik Pernikahan Usia Anak di NTB (2)

H Ahsanul Khalik

(Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB)

Menarik apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab bahwa perkawinan menurut al-Qur’an dan Sunnah antara lain menetapkan tujuan perkawinan. Suami isteri-menurut Al-Qur’anhendaknya topang-menopang (isteri-isteri adalah pakaian buat kamu (wahai suami) dan kamupun pakaian buat mereka (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187) dan saling bermusyawarah (Q.S. Ath-Thalaq [65]: 6). Bagaimana itu dapat diwujudkan kalau isteri belum mencapai tingkat mental, emosional, dan spiritual yang dapat mendukung tujuan tersebut.

Isteri oleh Nabi diserahi tugas pokok, yaitu mengurus rumah tangga. Bahkan boleh jadi dewasa ini lebih dari itu, karena pada hakekatnya fungsi keluarga bukan hanya reproduksi, atau ekonomi, tetapi lebih dari itu antara lain fungsi sosialisai dan pendidikan. Bagaimana mungkin seorang anak berumur enam belas tahun-yakni belum tamat Sekolah Menengah Atas dapat melaksanakan fungsi tersebut, kalau dia sendiri belum siap secara fisik, mental, dan spiritual?

Jangankan perkawinan, menyerahkan harta kepada anak yatim telah mencapai usia dewasa pun tidak diperkenankan Al-Qur’an (Q.S. an-Nisa’ [4]: 6)- walau harta itu adalah miliknya yang berada di tangan wali, kecuali setelah sang wali mengujinya dan menemukannya telah mencapai apa yang dinamai oleh Al-Qur’an rusyd. Kata ini bukan sekadar berarti kemampuan fisik atau nalar tetapi juga kesehatan mental dan spiritual. Memang bisa saja ada seorang yang telah melampaui usia delapan belas atau bahkan dua puluh tahun tapi ia dinilai belum dewasa, sehingga belum dapat diberi tanggung jawab.

Sekali lagi Islam tidak menetapkan batas tertentu bagi usia perkawinan. Itu sebabnya ditemukan dalam literatur hukum Islam aneka pendapat ulama dan mazhab menyangkut batas minimal usia calon suami dan isteri. Ketetapan hukum yang berlaku di negara-negara berpenduduk Muslim pun, menyangkut usia tersebut, berbeda-beda. Bahkan dalam satu negara perubahan terjadi akibat perkembangan masa. Di Aljazair –misalnya-pada mulanya delapan belas tahun bagi pria dan enam belas tahun bagi wanita, lalu dua puluh satu tahun bagi pria dan delapan belas tahun bagi wanita, lalu sembilan belas tahun bagi keduanya. Perbedaaan dan perubahan itu dapat dibenarkan karena kata ulama: “Kita tidak dapat serta merta meniru sepenuhnya ketetapan hukum yang lalu-walau kasusnya sama-karena ada empat fakor yang harus selalau dipertimbangkan sebelum menetapkan hukum, yaitu: masa, tempat, situasi, dan pelaku”. Yang menikah dengan wanita di bawah umur atau yang membenarkannya -dengan dalih bahwa Rasul melakukannya terhadap Aisyah, adalah picik menurut Imam As-Sayuthi dan jahil menurut mantan Mufti Mesir Syekh Ali Jumah, bahkan angkuh karena dia mempersamakan dirinya dengan Rasul Saw.

Memang tidak semua yang beliau lakukan boleh kita ikuti dan amalkan apalagi dalam hal perkawinan. Bahkan di sisi lain, tidak jarang apa yang ditetapkan Rasul Saw. diubah oleh pakar atau generasi sesudah beliau, karena ada perkembangan baru demi meraih kemaslahatan yang lebih besar atau menghindari mudharat. MUI sendiri memutuskan pernikahan usia anak pada dasarnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun hukumnya akan menjadi haram jika pernikahan tersebut justru menimbulkan madharat.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pernikahan usia anak menurut hukum Islam, sah dan diperbolehkan selama syarat dan rukunnya terpenuhi. Namun, jika pernikahan usia anak membawa dampak negatif yang lebih besar dan melahirkan mudharat, ia sesungguhnya bisa diharamkan. Karena prinsip dasar hukum Islam adalah jalbul mashalih wa dar’ul mafasid (Menghadirkan kebaikan dan menolak segala bentuk kerusakan). Prinsip ini sejalan dengan banyak ayat al-Qur’an dan teks-teks hadis. Di antaranya: “Dan janganlah kamu ceburkan diri kamu dalam hal-hal yang membawa kehancuran. Berbuat baiklah, karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-Baqarah: 195); Dari Yahya al-Mazini ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak diperbolehkan mencederai diri sendiri maupun mencederai orang lain” (Muwaththa’ Malik, No. Hadis: 1435).

Karenanya, ulama harus berani keluar dari jaring konservatisme irisan tafsir teks agama mengenai pernikahan (anak). Ulama dan tokoh agama harus berani bergerak untuk melakukan reinterpretasi atas teks-teks agama: ayat suci, sunnah, serta sumber-sumber agama dan keagamaan lainnya, agar tidak dipahami secara tekstual, telanjang, dan terlepas dari konteks. Paling tidak, ulama dan tokoh agama lainnya tidak mengambil peran sebagai: wali dan saksi, yang melegalkan pernikahan tersebut sekiranya ikatan berbeda jenis kelamin ini dianggap akan melahirkan dampak negatif dan atau mudharatnya lebih besar. Tak hanya membongkar pemahaman klasik atas nalar teologis, tapi juga tidak menjadi aktor yang menikah dengan anak di bawah umur.

Reformulasi tafsir dan reaktualiasi agama sangat penting, tapi yang tak kalah pentingnya adalah pemerintah harus merevisi dan atau mengatur kembali Undang-udang yang mengatur usia perkawinan yang dalam regulasi tersebut masih cukup minim, yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria yang masih diimbuhi pula dengan Kartu Indonesia Kawin (KIK) atau semacam dispensasi bagi yang belum cukup umur untuk menikah ke Pengadilan Agama. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan bahwa reformulasi hukum tersebut tidak kontradiksi dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menghendaki tidak terjadinya pernikahan anak karena dalam konteks ini, KUA tetap berpegang pada UU No 1/1974 khususnya masyarakat Muslim. Di luar itu, pemerintah juga mestinya merumuskan aturan yang jelas mengenai mekanisme pencegahan pernikahan usia anak serta sanksi yang jelas bagi subjek yang memanipulasi usia dan atau siapapun berkontribusi terjadinya praktik pernikahan usia anak. Karena faktanya, pernikahan di bawah umur yang tidak dicatat di KUA selama ini tidak ada pihak yang mempermasalahkannya selama pernikahan tersebut sudah memenuhi unsur rukun dan syarat yang ditentukan syari’at Islam”.

NTB sendiri yang dianggap sebagai sarang pengantin anak berupaya keras untuk melakukan tindakan preventif dengan keluarnya Surat Edaran Gubernur pada 2015 tentang Upaya Pendewasaan Usia Perkawinan di mana surat edaran ini mengatur usia perempuan minimum 21 tahun, sementara lelaki 23 tahun. Pemerintah kabupaten/kota juga didorong untuk membentuk Perda yang mengatur usia minimal pernikahan.

Tapi apakah perubahan regulasi, peraturan daerah, dan berbagai kebijakan pemerintah lainnya cukup? Tidak cukup! Pemerintah harus bekerjasama dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan pencerahan dan edukasi tentang dampak dari pernikahan usia anak. Lombok Timur misalnya, sebagai lokus lumbung besar pernikahan usia anak, Pemda setempat mengundang tokoh agama untuk mendeklarasikan penolakkan terhadap pernikahan usia anak yang isi deklarasinya adalah: “Bertekad mengajak masyarakat dan seluruh keluarga untuk mencegah terjadinya pernikahan usia anak, mendorong terbangunnya budaya pernikahan berencana, menekan angka kematian ibu, melaksanakan delapan fungsi keluarga, dan meningkatkan kualitas lansia guna membangun keluarga kecil, bahagia, sejahtera”.

Pemerintah Kabupaten Lombok Barat pun tak mau ketinggalan. Melalui Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki program untuk menekan jumlah perkawinan anak dengan GAMAK (Gerakan Anti Merariq Kodek) dengan mengajak tokoh agama dan tokoh masyarakat terlibat aktif penuh di dalam mengampanyekan bahaya pernikahan usia anak.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *