Indonesia merupakan negeri yang memiliki karakteristik rawan bencana. Posisinya yang berada dalam pertemuan tiga lempeng raksasa Eurasia, Indo-Australia, Lempeng Pasifik, dan berada dalam wilayah cincin api (ring of fire) menyebabkan Indonesia rentan diguncang gempa hingga gelombang tsunami. Gunung-gunung yang terdapat di hampir semua pulau menambah rentetan kemungkinan terjadinya bencana vulkanologi. Posisinya yang tepat berada di atas garis khatulistiwa membuat Indonesia hanya memiliki dua musim: panas dan hujan. Musim panas menyebabkan kekeringan serta kebakaran hutan, sementara musim hujan mengakibatkan terjadinya banjir, banjir bandang, juga tanah longsor.
Secara garis besar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengategorikan sepuluh ancaman bencana di Indonesia, yaitu: gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, banjir, banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, cuaca ekstrem, dan gelombang ekstrem.

Reputasi Indonesia sebagai negara rawan bencana, juga tercatat dalam laporan The Atlas of the Human Planet 2017. Laporan itu merekap ancaman di berbagai penjuru dunia dari enam jenis bencana alam: gempa bumi, gunung api, tsunami, banjir, angin badai tropis, dan kenaikan permukaan air laut. Data tersebut memerlihatkan bahwa ancaman bencana alam telah meningkat dua kali lipat dalam 40 tahun terakhir seiring dengan bertambahnya jumlah populasi. Sejauh ini, gempa bumi menurut catatan-penelitian yang dilakukan oleh geologis dan sejarahwan menjadi bencana paling mengancam populasi manusia, bahkan menghancurkan peradaban manusia. Banjir, menjadi bencana paling mengancam di kawasan Asia, atau 76,9 persen populasi dunia.
Dalam beberapa bulan belakangan ini, kita masih merasakan pilunya gempa 6,4 magnitudo pada 29 Juli 2018 dan diikuti gempa-gempa susulan yang tidak kalah kerasnya: 7,0 magnitudo pada 05 Agustus 2018; 5,9 magnitudo pada 09 Agustus 2018; dan 6,9 magnitudo pada tanggal 19 Agustus 2018, belum lagi bencana gempa bumi, tsunami, likuifaksi yang menimpa saudara-saudara kita yang berada di Palu, Donggala dan sekitarnya.

Bencana gempa bumi telah menyebabkan kehancuran; dalam hitungan menit bahkan detik, rumah-rumah, perkantoran, pertokoan, pasar, bangunan sekolah, dan fasilitas lainnya semua rata dengan tanah; ribuan orang terluka, puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang menjadi pengungsi; banyak keluarga kehilangan orang-orang terkasih, harta benda tak tersisa, puing-puing reruntuhan bangunan berserakkan, wajah-wajah sedih-pilu terhampar. Akibatnya, aktivitas perekonomian mengalami kelumpuhan, tatanan-struktur sosial masyarakat terceraikan, pun masyarakat hidup dalam trauma serta ketakutan yang mendalam, dan lain sebagainya.
Dampak bencana gempa bumi tidak sedikit. Bencana alam ini mengakibatkan 567 jiwa meninggal dunia, 1.584 orang luka-luka, dan 396.032 penduduk mengungsi. Kerusakan prasarana dan sarana skala besar seperti rumah penduduk 188.139 unit, gedung kantor, prasarana transportasi darat, prasarana sumber daya air, fasilitas kesehatan, pendidikan, tempat ibadah, hotel, toko dan berbagai fasilitas umum. Sektor yang paling terkena dampak dari gempa adalah sektor pendidikan dan permukiman. Output kedua sektor tersebut turun masing-masing sebesar 16,79% dan 14,53% di tahun 2018. Sektor kesehatan juga mengalami penurunan output sebesar 4.93%. Sektor pariwisata yang merupakan salah satu prioritas pembangunan terkena dampak terbesar keempat. Output sektor pariwisata turun hingga 4,89%.

Gempa bumi yang meluluhlantakkan Pulau Lombok dan sebagian Pulau Sumbawa berdampak pada penurunan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 1,5%. Selain itu, angka kemiskinan NTB pada bulan Maret 2018 yang tercatat 14,75% diperkirakan meningkat menjadi 15,88% pada tahun 2019. Seiring dengan perbaikan pasca pemulihan secara perlahan kemiskinan di NTB kembali menurun.

Tahapan penanganan bencana gempa Provinsi NTB telah dilaksanakan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dimulai dengan masa Tanggap Darurat berdasarkan Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 360 – 611 Tahun 2018 tanggal 30 Juli 2018 tentang Penetapan Status Keadaan Tanggap Darurat Bencana Alam Gempa Provinsi NTB (29 Juli – 4 Agustus 2018) diperpanjang sampai tanggal 25 Agustus 2018, di mana prioritas kegiatan melakukan evakuasi dan
penyelamatan jiwa, pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, perlindungan kelompok rentan (wanita, anak-anak, ibu hamil dan usia lanjut). Pendataan dampak kerusakan bencana dan pemulihan prasarana umum juga dilaksanakan pada masa Tanggap Darurat.
Setelah masa Tanggap Darurat berakhir, dilanjutkan dengan masa Transisi Darurat ke Pemulihan sesuai Surat Keputusan Gubernur NTB nomor 360 – 696 tanggal 29 Agustus 2018 berlaku sampai 17 September 2018. Pada periode ini prioritas penanganan kebutuhan dasar masyarakat pengungsi dan pembangunan prasarana sementara (rumah, tempat ibadah, fasilitas pendidikan, perkantoran, kesehatan), melakukan rehabilitasi prasarana vital seperti jaringan listrik, prasarana sumber daya air, prasarana transportasi, prasarana kesehatan, dan prasarana perkantoran.
Tak cukup itu, untuk memastikan kehadiran negara dan pemerintah dalam duka dan nestapa yang dialami masyarakat Pulau Lombok dan sebagian Pulau Sumbawa, Pemerintah memberikan payung hukum dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi di Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, dan Kota Mataram. Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi pasca bencana bertujuan untuk mengembalikan dan memulihkan fungsi 5 sektor, utama yaitu sektor permukiman, sektor infrastruktur, sektor ekonomi, sektor sosial dan lintas sektor yang diharapkan selesai pada akhir tahun 2019.
Dalam Inpres tersebut, Kementerian Sosial (Dinas sosial) memiliki tugas melaksanakan rehabilitasi sosial dan perlindungan sosial kepada masyarakat di kabupaten/kota dan wilayah terdampak bencana. Rehabilitasi Sosial ini meliputi Layanan Dukungan Psikososial (LDP) untuk penyintas gempa khususnya untuk kelompok rentan (vurnerable group) seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, ibu dengan balita, dan penyandang disabilitas. LDP ini dilakukan di 10 Pos LDP serta Layanan Bergerak untuk menjangkau warga yang terletak remote area (terisolir). Selain itu, Tim LDP juga konsisten memberikan trauma healing, mendirikan Pondok Ceria Anak, memberikan pelatihan singkat dan pembekalan kepada relawan yang akan melakukan rehabilitasi sosial, mendirikan titik layanan dengan berkoordinasi bersama relawan-lembaga-komunitas lain yang memberikan layanan serta menyisir penyintas yang belum terjangkau layanan dukungan psikososial. Posko bersama ini menjadi lokus utama untuk melakukan perencanaan, pembagian peta wilayah, serta mengidentifikasi permasalah yang timbul di pengungsian dan dampaknya terhadap anak-anak, lansia, ibu hamil, ibu dengan balita, dan penyandang disabilitas.
Sementara itu dalam rangka Perlindungan Sosial Berkelanjutan, Kementerian Sosial bersama Dinas Sosial NTB/Kabupaten/Kota melalui Tim Penanganan Terpadu menyisir korban gempa yang merupakan penerima manfaat bansos Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Bantuan Pangan Beras Sejahtera (Rastra) dikarenakan banyak penerima bansos yang kehilangan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), buku tabungan, dan rumah mereka rusak berat tidak bisa ditempati kembali.
Kementerian Sosial, dalam hal ini Dinas Sosial NTB, akan terus bekerja melayani warga masyarakat NTB yang terpapar bencana untuk memastikan bahwa negara tak abai terhadap musibah yang melanda kita semua. Program Rehabilitasi Sosial akan terus dilakukan dan ditingkatkan kualitasnya, diperkuat jejaringnya, diperbesar jangkauannya agar dapat hidup normal kembali dan perbaikan kualitas hidup untuk menghadirkan generasi-genarasi yang kuat dan hebat.
Gempa dan musibah ini telah menegur kita semua bahwa musibah bisa datang kapan saja, “diundang” (dengan pengrusakan terhadap alam), pun tak diundang. Karenanya tugas kita adalah awas serta bermawas diri oleh karena musibah dan bencana sewaktu-waktu bisa terjadi tanpa diduga. Ujian gempa bumi yang melanda kita ini menjadi teguran akan pentingnya sadar bencana dengan melakukan pemetaan dan kajian yang komprehensif tentang risiko bencana di kota/kabupaten di NTB; di level desa juga masyarakat harus diedukasi agar mampu menganalisa potensi ancaman bencana di desanya sehingga mereka bisa memiliki upaya mitigasi dan kesiapsiagaan jika terjadi bencana. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah memperkuat kapasitas masyarakat dalam penanggulangan bencana seperti Program Kampung Siqga Bencana, Sekolah Siaga Bencana, Rumah Sakit aman bencana, kantor-kantor dan lain sebagainya memiliki program-progam dan simulasi kesiapsiagaan bencana di lingkungan masing-masing.

***
Di usia NTB yang semakin menua, tepatnya 60 tahun, ujian itu datang menghampiri. Tapi kita tak boleh kalah, apatah lagi menyerah. Musibah ini justru telah menyatukan kita: merasa sepenanggungan, memperbesar empati sosial, kesetiakawanan, komitmen kebersamaan, bahwa lara ini adalah duka bersama. Nilai dan semangat tolong-menolong dan bantu-membantu antar sesama sangat kuat terasa dalam bencana ini. Perbedaan agama, suku, golongan, kepentingan dan apapun bukanlah pemilah untuk mengulurkan tangan. Dan ini bukan pemandangan yang aneh karena kebersamaan adalah jiwa kita dan modal social (social capital) untuk melakukan rekonstruksi serta rehabilitasi pasca bencana.
Masyarakat, pada dasarnya, mempunyai kemampuan dalam merehabilitasi dan merekonstruksi. Menurut Warren (dalam Fear & Schwarzweller, 1985) mengkonseptualisasikan komunitas masyarakat sebagai kombinasi dari lokalitas (kawasan) dan unit-unit sosial (manusia dan kelembagaan sosial) yang membentuk keteraturan di mana setiap unit-unit sosial menjalankan fungsi-fungsi sosialnya secara konsisten sehingga tersusun sebuah tatanan sosial yang tertata. Dengan demikian maka peranan unit-unit terkecil dalam masyarakat, yakni komunitas memegang peranan penting dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi pasca bencana. Dengan demikian, masyarakat tidak an sich sebagai objek penerima bantuan, melainkan subjek yang terlibat merencanakan dan mengevaluasi. Dengan kerangka“development from within” masyarakat dituntut komitmennya untuk saling terbuka, saling percaya, serta memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama. Perlu diperhatikan pula bahwa aspek sosial, religi, budaya masyarakat dan sub etnis cukup kompleks, yang kesemuanya apabila tidak terakomodasikan akan menjadi bibit munculnya konflik. Karenanya, program rehabilitas dan rekontruksi harus menghargai budaya lokal, tetapi tetap beridentitas keindonesiaan dan dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial (Sofian Effendi, 2004).
Musibah ini adalah ujian akan hebatnya kebersamaan kita: warga NTB yang telah menyediakan punggungnya untuk menanggung beban saudaranya yang tertimpa musibah. Kita hebat… Sangat hebat… Penanganan gempa Lombok-Sumbawa nyaris tanpa riak yang berarti. Kekurangan sana-sini boleh jadi tak dapat dihindari karena luasnya daerah yang terpapar gempa. Pada saat demikian inilah, tangan-tangan malaikat kecil datang mengulurkan bantuannya, para handai-tolan, karib-kerabat, relawan, LSM, komunitas, instansi pemerintah, baik dari NTB maupun dari luar NTB, warga masyarakat Indonesia pada umumnya, memperlihatkan komitmen kebersamaan yang nyata. Larut dalam kedukaan yang sama, bersatu dalam ikatan memori kultural senasib sepenanggungan.
Dan ini adalah modal kultural bagi kita semua untuk membangun kembali NTB. Badai pasti berlalu. Optimisme harus terus kita hidupkan karena larut dalam duka yang berkepanjangan pun tak akan menyudahi ujian ini. Tuhan sedang menguji kita karena boleh jadi di balik kesulitan terdapat kemudahan. Bukankah Tuhan telah menjanjikan demikian dalam sabda agung-Nya: “Inna ma’al ‘usri yusra”. Tinggallah bagaimana kita menyikapinya dengan kerja-kerja kultural, sistematis, dan cerdas. AYO NTB BANGKIT…!!!