Oleh :
H. Ahsanul Khalik
(Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB)
Indonesia darurat pernikahan usia anak. Fenomena ini menyerang kota maupun desa. Dulu potret ini lebih banyak terjadi di pedesaan karena keterdesakan ekonomi, rendahnya pendidikan, tradisi, dan legitimasi agama. Tapi sekarang, pengantin anak sudah tak pilih tempat. Kota pun disasar, desa-desa juga tentunya, oleh karena perkembangan teknologi (baca: media sosial) yang disalahgunakan. Pernikahan anak di bawah umur laiknya seperti fenomena gunung es di mana untuk satu kasus yang ditemukan, ada lagi 100 kasus di bawahnya.
Pernikahan usia anak menurut Undang-undang adalah pernikahan yang tidak sesuai dengan Undang-undang Perkawinan Bab 2 Pasal 7 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Menurut BKKBN bahwa pernikahan usia anak adalah pernikahan di bawah umur yang disebabkan oleh faktor sosial, pendidikan, budaya, ekonomi, faktor orangtua, faktor diri sendiri dan tempat tinggal. Sementara menurut Islam, pernikahan usia anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang belum aqil-baligh.
Potret pernikahan usia anak merupakan fenomena global yang terjadi di banyak belahan bumi, khususnya di Afrika dan Asia. Jumlah anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun setiap tahun tetap saja besar. Lebih dari 700 juta perempuan yang hidup saat ini menikah sebelum mencapai usia dewasa, yaitu usia 18 tahun, dan sepertiga atau sekitar 250 juta anak menikah sebelum usia 15 tahun. Jika kecenderungan ini berlanjut, diperkirakan 142 juta anak perempuan (atau 14,2 juta per tahun) akan menikah sebelum usia 18 tahun dari tahun 2011 sampai 2020, dan 151 juta anak perempuan atau 15,1 juta per tahun akan menikah sebelum usia 18 tahun dari tahun 2021 sampai 2030.
Dalam pada itu, Indonesia menempati urutan kedua pernikahan usia anak. Data Susenas 2012 menunjukkan bahwa sekitar 11,13 persen anak perempuan menikah pada usia 10-15 tahun dan sekitar 32,10% menikah pada usia 16-18 tahun. Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Reni Kartikawati bahwa tahun 2016, sebanyak 22.000 perempuan muda di Indonesia berusia 10-14 tahun sudah menikah.
Di NTB sendiri, menurut data Badan Statistik Provinsi NTB, jumlah perempuan yang melakukan perkawinan pertama pada usia 10-19 tahun 2015 sebanyak 34,90 persen di mana Kabupaten Lombok Timur, menempati urutan tertinggi, yakni sebesar 41,66 persen , dan mengalami lonjakkan yang signifikan tajamnya pada tahun 2016, yaitu sebesar 51,19 persen.
Kita semua tentunya prihatin dengan data-data di atas. Kekhawatiran ini berasalan karena pengantin yang masih terlalu muda beresiko tinggi putus sekolah. Untuk anak perempuan, resikonya adalah mengandung pada usia muda sangat berbahaya bagi kesehatan ibu dan bayinya. Lebih dari itu, pernikahan usia anak mengancam lebih banyak orang ke dalam jebakan kemiskinan yang kemungkinan besar akan diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, perkawinan anak terus menjadi beban di Indonesia.
“Pernikahan dini bukan cintanya yang terlarang. Hanya waktu saja belum tepat, merasakan semua. Pernikahan dini sebaiknya janganlah terjadi, namun putih cinta membuktikan, dua insan tak dapat dipisahkan”.
Lagu “Pernikahan Dini” yang diciptakan oleh Melly Goeslow merupakan lagu yang sangat booming sekali pada tahun 2001. Lagu ini, yang juga merupakan soundtrack sinetron dengan judul yang sama, secara apik dibawakan oleh Agnes Monica sekaligus aktris utama yang diduetkan dengan aktor Syahrul Gunawan. Lagu ini juga dijadikan soundtrack yang dinyanyikan ulang oleh Rossa dalam kampanye “STOP PERNIKAHAN DINI” oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Pernikahan usia anak bukanlah sesuatu yang harusnya terjadi. Mereka yang belum cukup umur dan latah menjadi ‘ibu’ dan ‘bapak’ harus kehilangan masa-masa pertumbuhannya sebagai anak yang masih dalam pengasuhan orangtuanya oleh karena pernikahan usia muda yang mereka kehendaki atas dasar cinta ‘sesaat yang sesat’, atau mungkin karena faktor kemiskinan, budaya, dan faktor lainnya. Menikah dalam usia muda, tanpa persiapan apa-apa, lalu punya anak, sedang hidup mereka belum mandiri sungguh menjadi beban. Menikah yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan, malah sebaliknya, menimbulkan penyesalan dari kedua pasangan. Pernikahan usia anak, tidak hanya terhentinya kesejahteraan anak untuk meraih pendidikan yang tinggi, mereka juga rentan kesehatan, khusus perempuan, karena mereka harus mengalami proses reproduksi sebelum alat reproduksinya berkembang secara maksimal. Di sisi lain, dampak sosial karena perceraian yang terjadi pada pengantin anak. Mereka harus hidup di dua dunia yang membingungkan: anak-anak bukan, dewasa pun belum, tetapi harus berstatus janda dan juga duda dalam usia yang masih sangat muda, tentunya. Menikah dalam usia muda, tanpa persiapan apa-apa, lalu punya anak, sedang hidup mereka belum mandiri sungguh menjadi beban. Menikah yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan malah sebaliknya, menimbulkan penyesalan dari kedua pasangan. Sebenarnya kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di sinetron. Ia nyata. Ia ada di tengah-tengah kita.
Karenanya, pernikahan usia anak mestinya dicegah karena dapat melahirkan mudharat bagi anak, terutama anak perempuan baik secara fisik maupun psikis, tetapi juga mudharat bagi masyarakat karena lahirnya generasi yang tidak tumbuh dalam lingkungan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, yang mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan fisik dan psikis dengan baik. Kita mesti bergerak bersama untuk menghentikan praktik pernikahan yang tidak sehat ini demi kualitas hidup anak-anak kita, demi masa depan mereka, yang pada akhirnya juga demi kualitas bangsa Indonesia.
Diakui memang tak mudah menghentikan laju praktik pernikahan usia anak. Karena banyak faktor yang menyebabkan sengkurat masalahnya sulit terurai laiknya menarik rambut dari adonan roti, tapi bukan berarti tidak mungkin karena sumber soalnya sudah jelas. Sumber asapnya karuan, pun apinya di depan mata. Tapi tak kunjung mereda, apalagi padam. Bagaimana mungkin api pernikahan usia anak akan berkesudahan sekiranya diurapi terus dengan bensin teologis. Salah satu ‘siraman’ yang kerapkali menjadi dalih pembenaran pernikahan anak adalah praktik pernikahan antara Rasulullah dengan Aisyah yang pada waktu waktu disinyalir masih berusia 6 tahun. Para ulama fiqih tak ayal menjadikan ini sebagai dalil yang absah akan legalitas pernikahan usia anak. Ibnu Syubrumah adalah salah satu yang menolak argumentasi teologis tersebut dengan pendapatnya yang bahwa agama melarang perkawinan di bawah umur (pernikahan sebelum baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubrumah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek histori, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi dengan Aisyah, Ibnu Syubrumah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Muhammad SAW. yang tidak bisa ditiru umatnya.(bersambung)
Sumber : Lombok Post / Senin, 11 September 2017
setuju, pernikahan usia dini tidak seharunya terjadikarena belum cukup umur untuk menjadi ibu..